EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA ANAK
PENDERITA DEMAM TIFOID DI RS DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR PERIODE 2017–2018
Wilda Dian Sari1) Lea P. Sjamsudin2)
dan Lusi Indriani3)
Program
Studi Farmasi FMIPA UNPAK – Bogor
ABSTRAK
Demam
tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh
feses atau urin orang yang terinfeksi. Tujuan penelitian ini yaitu menilai
efektivitas penggunaan antibiotika pada anak penderita demam tifoid di ruang
rawat inap RS Dr. H. Marzoeki Mahdi periode 2017-2018. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian Non-Eksperimental dan
merupakan studi Retrospektif Cross
Sectional, dianalisis secara
deskriptif.
Populasi yang diperoleh sebanyak 48 sampel dengan metode pengambilan data
secara purposive
sampling
melalui
pengukuran kondisi klinis (suhu tubuh) dan hasil laboratorium (tes widal dan
jumlah leukosit) pasien dan dianalisis dengan uji Wilcoxon. Hasil penilaian efektivitas penggunaan antibiotika
berdasarkan kondisi
klinis sebesar 94% dan
hasil laboratorium sebesar 64%, dan penggunaan antibiotik yang efektif
dalam menormalkan leukosit
dan
suhu tubuh adalah ceftriaxone masing-masing sebesar 61% dan 82%.
Kata Kunci : Efektivitas, antibiotika,
demam tifoid,
RS Dr. H. Marzoeki Mahdi
ABSTRACT
Typhoid
fever is an infection disease caused by Salmonella typhi bacteria that enters
the body through food and drink that is contaminated with feces or urine of an infected
person. The
purpose of this study is to assess the effectiveness of the use of antibiotics
in children with typhoid fever in the inpatient room of Dr. Hospital. H. Marzoeki Mahdi for the period
2017-2018. This research is a
Non-Experimental type of research and is a Cross Sectional Retrospective study
and analyzed descriptivel. The
population obtained as many as 48 samples with the method of data collection by
purposive sampling through measurement of clinical conditions (body
temperature) and laboratory results (widal test and the number of leukocytes)
of patients and anlyzed by Wilcoxon test.
The results of the assessment of the effectiveness of antibiotic use
based on clinical conditions were 94% and laboratory results were 64%, and the
effective use of antibiotis in normalizing leukocytes and body temperature was
ceftriaxone by 61% and 82%, respectively.
Keywords : Effectiveness,
antibiotics, typhoid fever, Dr. H.
Marzoeki Mahdi Hospital
PENDAHULUAN
Demam
tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh
feses atau urin orang yang terinfeksi (WHO, 2015). Penyebab yang sering terjadi
yaitu faktor higiene pribadi, higiene
makanan atau minuman serta sanitasi lingkungan (Padila, 2013).
Demam
tifoid sering terjadi di daerah endemik, seringkali terjadi ketika awal musim
hujan ataupun musim kemarau (Nafiah, 2018). WHO memperkirakan angka kejadian
demam tifoid yang terjadi di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta kasus/tahun
dengan angka kematian mencapai 600.000 orang, dimana 70% kematiannya terjadi di
Asia (DepKes RI, 2013). Di Indonesia kejadian demam tifoid memiliki angka yang
cukup tinggi yaitu sekitar 500/100.000 kasus (KeMenKes
RI, 2006). Prevalensi
demam tifoid di Indonesia sebesar 1,6% terjadi pada dewasa dan 4,3% terjadi
pada anak-anak (RisKesDas, 2007). Kekebalan tubuh anak-anak
belum sekuat tubuh orang dewasa juga ditambah jajan yang sembarangan atau tidak
mencuci tangan sebelum makan (Nafiah, 2018). Demam tifoid
termasuk penyakit dengan peringkat ketiga pasien rawat inap terbanyak di rumah
sakit Indonesia. Pada tahun 2010 penderita demam tifoid yang dirawat inap di
Rumah Sakit sebanyak 41.081 kasus dan 274 diantaranya meninggal dunia (DepKes RI, 2011).
Pengobatan
utama pada kasus demam tifoid adalah dengan pemberian antibiotika yang sesuai
dengan infeksi bakteri. Demam tifoid dapat disembuhkan bila diberikan pengobatan serta tindakan
yang cepat dan tepat (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).
Pada penelitian sebelumnya mengenai
efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid anak rawat inap di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta tahun 2010, pola
antibiotika yang digunakan yaitu amoxicillin, cefotaxime, ceftriaxone dan
kloramfenikol. Obat yang paling banyak digunakan adalah ceftriaxone 46,15%.
Antibiotika yang efektif adalah ceftriaxone karena mempunyai efektivitas terapi
mencapai 100% dengan rawat inap rata-rata yaitu 4 hari.
Mengingat
masih tingginya prevalensi demam tifoid pada anak dan peggunaan antibiotika
yang tidak tepat dapat menimbulkan risiko terjadinya resistensi antibiotika sehingga
dapat mengakibatkan gagalnya efektivitas terapi. Oleh karena itu, untuk
mengetahui keberhasilan terapi antibiotika perlu dilakukan penelitian evaluasi
efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien anak demam tifoid berdasarkan karakteristik pasien,
karakteristik antibiotika, kondisi klinis dan hasil laboratorium sebelum dan
sesudah terapi, sehingga dapat membantu dalam meningkatkan
pelayanan kesehatan dan pengobatan demam tifoid pada anak.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Non-Eksperimental.
Penelitian ini merupakan studi Retrospektif
Cross Sectional. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menilai
efektivitas penggunaan antibiotika pada anak penderita demam tifoid di ruang
rawat inap RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 2017–2018.
Sampel penelitian ini adalah semua
pasien anak yang terdiagnosis demam tifoid yang menjalani perawatan di ruang
rawat inap RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 2017–2018 yang memenunuhi
kriteria inklusi. Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 48 rekam medik.
ANALISIS
DATA
Analisis
data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui dan mendapatkan presentase karakteristik
pasien berdasarkan usia, jenis kelamin, lama
perawatan,
diagnosa pasien dan karakteristik
antibiotika
yang digunakan yang terdapat pada data rekam medik pasien, kemudian disajikan
dalam bentuk tabel.
Analisis data yang dilakukan untuk menilai
efektivitas penggunaan antibiotika
pada anak penderita demam tifoid dilihat dari kondisi klinis (suhu tubuh) dan hasil pemeriksaan
laboratorium (jumlah leukosit) sebelum dan sesudah perawatan yang dianalisis menggunakan metode statistik non
parametrik yaitu uji Wilcoxon
untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan efektivitas antara kondisi klinis dan hasil laboratorium sebelum dan sesudah
terapi.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1. Karakteristik Pasien
Karakteristik subjek penelitian ini
dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lama rawat inap yang ditunjukkan pada Tabel 4 berikut:
Tabel
4. Karakteristik
Pasien
No |
Hasil |
Jumlah |
Persentase |
1 |
Usia |
|
|
0-5
th |
16 |
33% |
|
|
6-14
th |
32 |
67% |
2 |
Jenis
Kelamin |
|
|
|
Laki-Laki |
26 |
54% |
|
Perempuan |
22 |
46% |
3 |
Lama
Rawat Inap |
|
|
3-5
hari |
38 |
79% |
|
|
>
5 hari |
10 |
21% |
A.
Berdasarkan Usia
Sebagian besar
pasien yang menderita demam tifoid lebih banyak terjadi pada usia anak-anak (6-14 tahun) yaitu
sebanyak 67% dibandingkan usia balita (0-5 tahun) yaitu 33%. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Klaarje yang menyatakan bahwa angka
kejadian tertinggi adalah pada anak usia
5-9 tahun, karena pada anak usia ini merupakan masa anak mulai mengenal
lingkungan dan bersosialisasi dengan teman-temannya, mereka mulai mengkonsumsi
makanan dan minuman yang tidak diketahui jelas kebersihannya. Hal ini juga
diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pada usia balita
(1-5 tahun) memiliki angka kejadian yang cukup rendah karena pola makan yang
masih diatur oleh ibu mereka sehingga kemungkinan tetrjangkitnya lebih kecil
(Adisasmito, 2006).
B. Berdasarkan
Jenis Kelamin
Jumlah pasien berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
yaitu 54% dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin perempuan yaitu 46%. Hal
ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pasien anak
penderita demam tifoid berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 55,49%
dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin perempuan sebanyak 44,51%. Hal ini
dikarenakan anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah
sehingga memungkinkan terjadinya risiko yang lebih besar terkena demam tifoid
dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina, 2004).
C. Berdasarkan
Lama Perawatan
Lama perawatan
yang paling banyak adalah 3-5 hari yaitu 80% dan yang lebih dari 5 hari yaitu sebanyak
20%. Umumnya perawatan demam tifoid dibutuhkan waktu 7-14 hari untuk mencapai
tingkat kesembuhan (KeMenKes, 2006), namun hal ini tidak sesuai dikarenakan
sebagian besar kondisi klinis pasien sudah mulai membaik, biasanya pada keadaan
ini dokter sudah menyatakan sembuh dan pasien diperbolehkan pulang
(Fitrianggraeni, 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2016), sembuh adalah suatu kondisi dimana
pasien dinyatakan telah bebas dari penyakit yang
diderita, sedangkan membaik adalah suatu kondisi dimana seseorang telah
mencapai suatu keadaan yang lebih baik dari penyakit yang diderita.
2.
Karakteristik Antibiotika
Karakteristik dan penggunaan antibiotika dan pengadaannya di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel
5. Karakteristik Antibiotika
No |
Hasil |
Jumlah
|
Persentase
|
1 |
Jenis
Antibiotik |
|
|
Tunggal |
48 |
100% |
|
|
Kombinasi |
0 |
0% |
2 |
Penggolongan
Antibiotik |
|
|
Kloramfenikol |
0 |
0 |
|
Sulfametoksazol |
0 |
0 |
|
Penisilin |
0 |
0 |
|
Cephalosporin |
48 |
100% |
|
Kuinolon |
0 |
0% |
|
3 |
Antibiotik |
|
|
Inj.
Ceftriaxone |
41 |
85% |
|
Inj.
Cefotaxime |
5 |
10% |
|
|
Inj.
Ceftazidime |
2 |
5% |
4 |
Lama
Penggunaan Antibiotik |
|
|
3-5
hari |
40 |
83% |
|
|
>5
hari |
8 |
17% |
Berdasarkan
Tabel 5 jenis antibiotika yang digunakan yaitu jenis tunggal berjumlah 100% dengan penggolongan jenis
antibiotika
yang paling sering digunakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga yang
berjumlah 100% yaitu Ceftriaxone sebesar 85%, Cefotaxime sebesar 10% dan
Ceftazidime sebesar 5% dengan rute pemberian masing-masing dalam bentuk injeksi
atau dengan rute pemberian intravena karena merupakan efek pemberian obat yang
lebih cepat dibandingkan dengan rute pemberian oral. Hal ini disebabkan karena
pertimbangan manfaat dan risiko dari pemberian obat
pada setiap pasien yaitu keadaan
dan kondisi pasien.
Dari hasil
penelitian ini menunjukkan penggunaan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga menjadi pengobatan utama pada
demam tifoid anak di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 2017-2018. Pengobatan tidak menggunakan
antibiotika drug of choice yaitu golongan kloramfenikol dan penisilin tetapi langsung diberikan
dengan golongan sefalosporin karena diduga lebih cepat untuk menurunkan suhu
tubuh, lama pemberian yang pendek dan dapat diberikan dengan dosis tunggal.
Ceftriaxone merupakan antibiotika yang paling sering digunakan dalam
pengobatan rawat inap dan biasanya
diberikan pada pasien anak-anak. Ceftriaxone juga merupakan salah satu antibiotika alternatif yang menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid
anak (Musnelina dkk, 2004).
Pemberian
antibiotika
oral digunakan sebagai terapi lanjutan yang dilakukan pada pasien anak
penderita demam tifoid dengan pertimbangan kondisi klinis pasien membaik (KeMenKes, 2011). Hal ini sesuai dengan Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia, bila terdapat klinis perbaikan, antibiotika intravena dapat diganti dengan preparat oral dengan
antibiotika
golongan yang sama dengan antibiotika intravena sebelumnya (IDAI, 2009). Pada penelitian ini
tidak dilampirkan obat pulang dari tiap pasien, namun ada beberapa pasien yang
mendapatkan terapi antibiotika oral untuk dilanjutkan menjadi obat pulang saat pasien
diizinkan pulang oleh dokter dari rumah sakit seperti cefixime dan cefadroxil. Terapi antibiotika cefixime oral merupakan terapi lanjutan dikarenakan
cefixime merupakan antibiotika yang berada pada golongan antibiotika yang sama dengan cefotaxime
dan ceftriaxone, yaitu golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas yang sama
terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). Terapi antibiotika sefadroksil oral juga menjadi pilihan terapi lanjutan
dikarenakan sefadroksil merupakan golongan antibiotika sefalosporin generasi pertama yang efektif
terhadap bakteri Gram positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap bakteri Gram negatif dan hanya diberikan secara oral pemberiannya
sehingga dapat digunakan sebagai terapi obat pulang.
Lama
penggunaan antibiotika diperlukan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi akibat
perkembangbiakan Salmonella typhi
yang telah menginfeksi
tubuh pasien (Sidabutar dan Satari, 2010). Menurut KeMenKes, penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan diagnosis awal
yang telah dikonfirmasi yang kemudian dilakukan evaluasi berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium dan kondisi klinis pasien. Penggunaan antibiotika pada saat pasien dirawat paling banyak yaitu 3-5 hari
dengan 83% dan >5 hari sebanyak 17%.
3. Kondisi
Klinis dan Hasil Laboratorium
Tabel
6. Kondisi Klinis dan Hasil Laboratorium
No |
Hasil |
Pre |
Post |
|
||
Jumlah |
Persentase
|
Jumlah |
Persentase
|
|||
1 |
Tes
Widal |
|
||||
(+) |
48 |
100% |
|
|
|
|
|
(-) |
0 |
0% |
|
|
|
2 |
Leukosit |
|
|
|
|
|
5,000-10,000 |
23 |
48% |
16 |
70% |
|
|
7 |
30% |
|
||||
<5,000
atau > 10,000 |
25 |
52% |
16 |
64% |
|
|
|
9 |
36% |
|
|||
3 |
Suhu |
|
|
|
|
|
36-37°C |
4 |
8% |
45 |
94% |
|
|
|
>
37°C |
44 |
92% |
3 |
6% |
|
A.
Berdasarkan Tes
Widal
Tes Widal adalah
salah satu pengujian untuk mendiagnosa demam tifoid yang diakibatkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Meskipun
diketahui bahwa tes Widal memiliki
banyak kelemahan, tetapi sampai saat in tes Widal merupakan
uji serologis yang paling banyak digunakan untuk menunjang diagnosis demam
tifoid (Puspa, 2005).
Menurut penelitian sebelumnya, tes Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tergolong sedang yaitu pada kasus demam tifoid dengan hasil biakan positif
(Kalma, 2011). Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kesembuhan sudah
dialami oleh pasien
walaupun tes Widal masih menunjukkan hasil (+) positif tetapi kondisi
klinis menunjukkan kesembuhan pada pasien tersebut, hal ini didukung oleh
pernyataan literatur yang mengatakan bahwa pada tes Widal pemberian antibiotika mampu
mengahambat kenaikan titer tes
Widal (Handojo, 2004).
Persentase pasien yang keadaannya belum
atau tidak normal sebelum pemberian antibiotika berdasarkan tes Widal adalah
sebanyak 100%, artinya bahwa semua hasil positif tes Widal memperkuat
dengan terinfeksi Salmonella typhi
pada penderita (Fatmawati, 2011). Pada penelitian ini masih terdapat beberapa pasien yang
kadar leukositnya tidak dalam rentang normal pada saat keluar dari rumah sakit
serta masih adanya pasien yang tidak dilakukan tes Widal pada saat keluar dari rumah sakit. Meskipun tes Widal hanya
dilakukan di awal hari perawatan saja, namun pasien tetap mengalami pengobatan
rawat jalan di rumah dengan membawa obat yang telah diresepkan oleh dokter
untuk menuntaskan kesembuhan pasien tersebut.
B.
Berdasarkan Kadar Leukosit
Pemeriksaan
jumlah leukosit pada penyakit demam tifoid digunakan sebagai diagnosa
pembanding karena gejala yang terjadi pada kasus demam tifoid hampir sama
dengan kasus infeksi lain. Rentang nilai normal leukosit di RS Dr. H. Marzoeki
Mahdi
Bogor adalah 5.000–10.000/µL. Persentase pasien dengan kadar leukosit tidak atau
belum normal sebelum pemberian antibiotika yaitu 52%, artinya hampir semua pasien memiliki kadar leukosit tidak normal.
Beberapa
penelitian mendapatkan bahwa jumlah leukosit tidak mempunyai nilai spesifitas,
sensitifitas dan dugaan yang cukup tinggi untuk digunakan dalam membedakan
antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya jumlah leukosit
yang tidak dalam rentang normal relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid (Juwono, 2004).
Persentase
pasien dengan kadar leukosit normal setelah perawatan yaitu 64%, artinya hanya sebagian pasien dengan kadar
leukosit normal. Sementara 36% memiliki kadar leukosit tidak normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
antibiotika
terhadap pasien berdasarkan kadar leukosit 64% efektif dalam menghentikan dan
memusnahkan penyebaran bakteri Salmonella
typhi dalam tubuh pasien. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemberian antibiotika 90% efektif dalam menormalkan kadar leukosit akibat
penyebaran bakteri Salmonella typhi
dalam tubuh pasien (Wahyuno, 2014).
C.
Berdasarkan
Suhu Tubuh
Suhu tubuh menjadi salah satu tanda
vital pasien untuk mengetahui gejala demam yang ditandai dengan suhu tubuh yang
tinggi. Umumnya gejala ini terjadi karena infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi (Nurjannah et al., 2011). Pada penelitian ini,
persentase pasien yang suhunya tidak normal sebelum pemberian antibiotika yaitu 92%,
artinya hampir semua pasien mengalami demam akibat bakteri Salmonella typhi, sementara 8% pasien memiliki suhu normal.
Sedangkan persentase pasien dengan suhu tubuh yang normal setelah pemberian
antibiotika adalah 94%,
sementara tidak normal adalah sebanyak 6%. Hal ini menandakan bahwa pemberian
antibiotika berdasarkan
suhu tubuh 94% efektif menurunkan suhu tubuh pasien, meskipun masih terdapat 6%
pasien yang memiliki suhu tubuh belum normal. Hasil penelitian ini tidak jauh
berbeda pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemberian antibiotika 95% efektif
dalam menurunkan suhu tubuh akibat penyebaran bakteri Salmonella typhi dalam tubuh pasien (Wahyono, 2014).
4. Karakteristik
Pasien Berdasarkan Diagnosis Penyakit Penyerta
Tabel
7. Hasil Diagnosis Penyakit Demam Tifoid
No |
Keterangan |
Jumlah |
Persentase |
1 |
Tanpa
Penyakit Penyerta |
25 |
52% |
2 |
Dengan
Penyakit Penyerta |
23 |
48% |
Pada hasil
diagnosa yang telah ditetapkan,
dapat diketahui ada dan tidaknya penyakit penyerta pada pasien anak penderita
demam tifoid. Hasil pada Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 48 pasien, diagnosis penyakit demam tifoid yang dirawat inap paling banyak adalah demam
tifoid tanpa penyakit penyerta sebesar 52%.
Distribusi penyakit penyerta pada pasien
anak penderita demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel
8. Penyakit Penyerta Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid
No |
Penyakit
Penyerta |
Jumlah |
Persentase |
1 |
Anemia |
1 |
2% |
2 |
Appenditis |
1 |
2% |
3 |
Bronkitis |
1 |
2% |
4 |
Bronkopneumonia |
2 |
4% |
5 |
DBD |
8 |
17% |
6 |
Diare |
1 |
2% |
7 |
Dispepsi |
3 |
6% |
8 |
Febris |
1 |
2% |
9 |
GE |
2 |
4% |
10 |
ISK |
1 |
2% |
11 |
ISPA |
2 |
4% |
12 |
Low
Intake |
2 |
4% |
13 |
Trombositopenia |
1 |
2% |
Dari hasil
Tabel 8, diketahui distribusi penyakit penyerta dari pasien anak
penderita demam tifoid yang banyak diderita adalah
Demam Berdarah Dengue (DBD) sebesar 17%, kemudian diikuti oleh Dispepsia sebesar 6%,
Bronkopneumonia, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Low Intake masing-masing sebesar 4% dan Anemia,
Appenditis, Bronkitis, Diare, Febris, Gastroenteritis (GE), Infeksi
Saluran Kemih (ISK) dan Trombositopenia masing-masing sebanyak 2%.
5. Efektivitas
Penggunaan Antibiotika
Efektivitas penggunaan antibiotika adalah terapi antibiotika yang efektif atau dapat mengurangi gejala
dan tanda penyakit, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 9 berikut:
Tabel
9. Efektivitas Penggunaan Antibiotika
No |
Antibiotik |
Keefektifan |
Leukosit |
Suhu |
||
Jumlah |
Persentase |
Jumlah |
Presentase |
|||
1 |
Inj. Ceftriaxone |
1. Efektif |
29 |
61% |
39 |
82% |
|
|
2. Tidak Efektif |
12 |
25% |
2 |
4% |
2 |
Inj. Cefotaxime |
1. Efektif |
1 |
2% |
4 |
8% |
|
|
2. Tidak Efektif |
4 |
8% |
1 |
2% |
3 |
Inj. Ceftazidime |
1. Efektif |
2 |
4% |
2 |
4% |
|
|
2. Tidak Efektif |
0 |
0% |
0 |
0% |
Total |
48 |
100% |
48 |
100% |
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika yang efektif dalam menormalkan jumlah leukosit
pada pasien anak penderita demam
tifoid
adalah ceftriaxone (61%),
ceftazidime (4%) dan
cefotaxime
(2%). Sedangkan hasil penilaian penggunaan antibiotika yang efektif dalam menormalkan suhu tubuh pada pasien
anak penderita demam tifoid adalah ceftriaxone (82%),
cefotaxime (8%) dan ceftazidime (4%).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh penggunaan antibiotika oleh pasien anak penderita demam tifoid di RS Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor efektif.
Hasil
penelitian ini juga
menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika yang tidak efektif dalam menormalkan jumlah leukosit
pada pasien anak penderita demam
tifoid
adalah ceftriaxone (25%)
dan cefotaxime (8%). Sedangkan hasil penilaian penggunaan antibiotika yang tidak efektif dalam menormalkan suhu tubuh pada pasien
adalah
ceftriaxone (4%) dan cefotaxime (2%).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketidakefektifan penggunaan antibiotika oleh pasien anak penderita demam tifoid disebabkan karena adanya
penggunaan obat lain yang digunakan pasien dengan penyakit penyerta.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian, dari 48 pasien anak penderita demam tifoid yang dirawat di ruang
rawat inap RS Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor
periode 2017-2018 dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Gambaran
umum karakteristik pasien (usia, jenis kelamin dan lama perawatan) anak
penderita demam tifoid lebih banyak ditemukan jenis kelamin laki-laki (54%)
dengan usia 6-14
tahun (67%) dan lama perawatan 3-5 hari (79%).
2.
Gambaran
umum karakteristik antibiotik (jenis, penggolongan, kelompok dan lama
penggunaan antibiotik) yang paling banyak digunakan adalah jenis tunggal (100%)
dengan golongan
cephalosporin generasi ketiga (100%) yaitu ceftriaxone (85%) dan lama penggunaan 3-5 hari (83%).
3.
Penilaian
efektivitas penggunaan antibiotika berdasarkan
kondisi klinis (suhu tubuh)
sebesar 94% dan hasil pemeriksaan laboratorium (jumlah leukosit) sebesar 64% dengan penggunaan antibiotik yang
paling efektif dalam menormalkan jumlah
leukosit
dan suhu tubuh adalah ceftriaxone dengan masing-masing kefektifan sebesar 61% dan 82%.
1.
Perlu
ditingkatkan dalam pengisian atau kelengkapan lembar rekam medik pasien,
khususnya pada pemeriksaan hasil laboratorium pada tes Widal sehingga memudahkan pendataan dan pembacaan rekam
medik.
2.
Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode prospektif sehingga
dapat dilihat penggunaan terapi antibiotika dan kondisi klinis pasien secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito,
A. W. 2006. Penggunaan Antibiotik pada
Terapi Demam Tifoid Anak di RSAB Harapan Kita. Jakarta: Sari Pediatri, Vol.
8, No.3, Desember 2006. 174-180
DepKes RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan No. 2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika. Jakarta: Depkes RI.
________. 2013. Sistematika
Pedoman Pengendalian Penyak it Demam
Tifoid. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan
Lingkungan.
Fatmawati,
R., Nahwa, A., Hardian. 2011. Uji
Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan Dengan Kultur Darah Sebagai Baku
Emas Untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di Rsup Dr. Kariadi Semarang.
Semarang: Universitas Diponogoro Semarang Press
Fitrianggraini,
A., Hakim, A. R., Sujono, T. A. 2012. Evaluasi
Pola Penggunan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap
RS “X” Tahun 2010-2011. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Handojo,
I. 2004. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya:
Airlangga University Press.
IDAI.
2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Juwono.
2004. Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. 2016. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). [Online]. Available at: http://kbbi.web.id/pusat. Diakses 21
Juni 2016.
Kementrian
Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid. Jakarta: Kemenkes RI.
________. 2011.
Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik. Jakarta: Kemenkes
RI.
Musnelina,
L., Afdhal, A, F., Gani, A., Andayani, P. 2004. Pola Pemberian Antibiotik Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta 2001-2002. Jakarta: Makara Kesehatan, Vol. 8, No. 1:
27-31.
Nafiah,
F. 2018. Kenali Demam Tifoid dan
Mekanismenya. Yogyakarta: Budi Utama
Nurjanah,
S., Fathia, S. 2011. Aktivitas
Antimikroba Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Kering Beku Terhadap
Beberapa Bakteri Patogen. Bogor: IPB Press
Padila.
2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam.
Bengkulu: Nuha Medika.
Patmawati, S. Y. 2010. Efektifitas Penggunaan Antibiotik Pada
Pasien Demam Tifoid Anak Rawat Inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Puspa,
W. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan
Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Jounal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37.
RisKesDas.
2007. Riset Kesehatan Dasar_Laporan Kesehatan 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Roespandi,
H., dan Nurhamzah, W. 2007. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Sidabutar,
S., Satari, H, I. 2010. Pilihan Terapi
Empiris Demam Tifoid Pada Anak: Kloramfenikol Atau Seftriakson. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Cipto
Mangunkusumo. Sari Pediatri 2010;11 (6): 434-9.
Tjay,
T. H., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat
Penting: Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Ke VI. Cetakan
I, Hal. 263, 270. Jakarta: Gramedia.
Wahyono,
D., Fita, R., 2014. Evaluasi Penggunaan
Antibiotik Pada Pasien Pediatri Rawat Inap. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada Press.
World
Health Organization. 2015. Typhoid Fever.
Terdapat Di: Http://Www.Who.Int/Topics/Typhoid_Fever/En/ [Diakses 9 Juni 2016].