Sunday, September 29, 2019

Efektivitas Penggunaan Antibiotika pada Anak Penderita Demam Tifoid

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI RS DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR PERIODE 2017–2018

 

Wilda Dian Sari1) Lea P. Sjamsudin2) dan Lusi Indriani3)

Program Studi Farmasi FMIPA UNPAK – Bogor

 

ABSTRAK

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh feses atau urin orang yang terinfeksi. Tujuan penelitian ini yaitu menilai efektivitas penggunaan antibiotika pada anak penderita demam tifoid di ruang rawat inap RS Dr. H. Marzoeki Mahdi periode 2017-2018. Penelitian ini merupakan jenis penelitian Non-Eksperimental dan merupakan studi Retrospektif Cross Sectional, dianalisis secara deskriptif. Populasi yang diperoleh sebanyak 48 sampel dengan metode pengambilan data secara purposive sampling melalui pengukuran kondisi klinis (suhu tubuh) dan hasil laboratorium (tes widal dan jumlah leukosit) pasien dan dianalisis dengan uji Wilcoxon. Hasil penilaian efektivitas penggunaan antibiotika berdasarkan kondisi klinis sebesar 94% dan hasil laboratorium sebesar 64%, dan penggunaan antibiotik yang efektif dalam menormalkan leukosit dan suhu tubuh adalah ceftriaxone masing-masing sebesar 61% dan 82%.

Kata Kunci : Efektivitas, antibiotika, demam tifoid, RS Dr. H. Marzoeki Mahdi

 

ABSTRACT

            Typhoid fever is an infection disease caused by Salmonella typhi bacteria that enters the body through food and drink that is contaminated with feces or urine of an infected person. The purpose of this study is to assess the effectiveness of the use of antibiotics in children with typhoid fever in the inpatient room of Dr. Hospital.  H. Marzoeki Mahdi for the period 2017-2018.  This research is a Non-Experimental type of research and is a Cross Sectional Retrospective study and analyzed descriptivel.  The population obtained as many as 48 samples with the method of data collection by purposive sampling through measurement of clinical conditions (body temperature) and laboratory results (widal test and the number of leukocytes) of patients and anlyzed by Wilcoxon test.  The results of the assessment of the effectiveness of antibiotic use based on clinical conditions were 94% and laboratory results were 64%, and the effective use of antibiotis in normalizing leukocytes and body temperature was ceftriaxone by 61% and 82%, respectively.

Keywords : Effectiveness, antibiotics, typhoid fever,  Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital


PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh feses atau urin orang yang terinfeksi (WHO, 2015). Penyebab yang sering terjadi yaitu faktor higiene pribadi, higiene makanan atau minuman serta sanitasi lingkungan (Padila, 2013).

Demam tifoid sering terjadi di daerah endemik, seringkali terjadi ketika awal musim hujan ataupun musim kemarau (Nafiah, 2018). WHO memperkirakan angka kejadian demam tifoid yang terjadi di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta kasus/tahun dengan angka kematian mencapai 600.000 orang, dimana 70% kematiannya terjadi di Asia (DepKes RI, 2013). Di Indonesia kejadian demam tifoid memiliki angka yang cukup tinggi yaitu sekitar 500/100.000 kasus (KeMenKes RI, 2006). Prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1,6% terjadi pada dewasa dan 4,3% terjadi pada anak-anak (RisKesDas, 2007). Kekebalan tubuh anak-anak belum sekuat tubuh orang dewasa juga ditambah jajan yang sembarangan atau tidak mencuci tangan sebelum makan (Nafiah, 2018). Demam tifoid termasuk penyakit dengan peringkat ketiga pasien rawat inap terbanyak di rumah sakit Indonesia. Pada tahun 2010 penderita demam tifoid yang dirawat inap di Rumah Sakit sebanyak 41.081 kasus dan 274 diantaranya meninggal dunia (DepKes RI, 2011).

Pengobatan utama pada kasus demam tifoid adalah dengan pemberian antibiotika yang sesuai dengan infeksi bakteri. Demam tifoid dapat disembuhkan bila diberikan pengobatan serta tindakan yang cepat dan tepat (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).

Pada penelitian sebelumnya mengenai efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid anak rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta tahun 2010, pola antibiotika yang digunakan yaitu amoxicillin, cefotaxime, ceftriaxone dan kloramfenikol. Obat yang paling banyak digunakan adalah ceftriaxone 46,15%. Antibiotika yang efektif adalah ceftriaxone karena mempunyai efektivitas terapi mencapai 100% dengan rawat inap rata-rata yaitu 4 hari.

Mengingat masih tingginya prevalensi demam tifoid pada anak dan peggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan risiko terjadinya resistensi antibiotika sehingga dapat mengakibatkan gagalnya efektivitas terapi. Oleh karena itu, untuk mengetahui keberhasilan terapi antibiotika perlu dilakukan penelitian evaluasi efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien anak demam tifoid berdasarkan karakteristik pasien, karakteristik antibiotika, kondisi klinis dan hasil laboratorium sebelum dan sesudah terapi, sehingga dapat membantu dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan pengobatan demam tifoid pada anak.

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Non-Eksperimental. Penelitian ini merupakan studi Retrospektif Cross Sectional. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menilai efektivitas penggunaan antibiotika pada anak penderita demam tifoid di ruang rawat inap RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 2017–2018.

Sampel penelitian ini adalah semua pasien anak yang terdiagnosis demam tifoid yang menjalani perawatan di ruang rawat inap RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 2017–2018 yang memenunuhi kriteria inklusi. Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 48 rekam medik.

 

ANALISIS DATA

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui dan mendapatkan presentase karakteristik pasien berdasarkan usia, jenis kelamin, lama perawatan, diagnosa pasien dan karakteristik antibiotika yang digunakan yang terdapat pada data rekam medik pasien, kemudian disajikan dalam bentuk tabel.

Analisis data yang dilakukan untuk menilai efektivitas penggunaan antibiotika pada anak penderita demam tifoid dilihat dari kondisi klinis (suhu tubuh) dan hasil pemeriksaan laboratorium (jumlah leukosit) sebelum dan sesudah perawatan yang dianalisis menggunakan metode statistik non parametrik yaitu uji Wilcoxon untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan efektivitas antara kondisi klinis dan hasil laboratorium sebelum dan sesudah terapi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

1.     Karakteristik Pasien

Karakteristik subjek penelitian ini dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lama rawat inap yang ditunjukkan pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Karakteristik Pasien

No

Hasil

Jumlah

Persentase

1

Usia

 

 

0-5 th

16

33%

 

6-14 th

32

67%

2

Jenis Kelamin

 

 

 

Laki-Laki

26

54%

 

Perempuan

22

46%

3

Lama Rawat Inap

 

 

3-5 hari

38

79%

 

> 5 hari

10

21%

 

A.    Berdasarkan Usia

Sebagian besar pasien yang menderita demam tifoid lebih banyak terjadi  pada usia anak-anak (6-14 tahun) yaitu sebanyak 67% dibandingkan usia balita (0-5 tahun) yaitu 33%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Klaarje yang menyatakan bahwa angka kejadian tertinggi adalah pada anak  usia 5-9 tahun, karena pada anak usia ini merupakan masa anak mulai mengenal lingkungan dan bersosialisasi dengan teman-temannya, mereka mulai mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak diketahui jelas kebersihannya. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pada usia balita (1-5 tahun) memiliki angka kejadian yang cukup rendah karena pola makan yang masih diatur oleh ibu mereka sehingga kemungkinan tetrjangkitnya lebih kecil (Adisasmito, 2006).

 

B.    Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah pasien berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 54% dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin perempuan yaitu 46%. Hal ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pasien anak penderita demam tifoid berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 55,49% dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin perempuan sebanyak 44,51%. Hal ini dikarenakan anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah sehingga memungkinkan terjadinya risiko yang lebih besar terkena demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina, 2004).

 

C.    Berdasarkan Lama Perawatan

Lama perawatan yang paling banyak adalah 3-5 hari yaitu 80% dan yang lebih dari 5 hari yaitu sebanyak 20%. Umumnya perawatan demam tifoid dibutuhkan waktu 7-14 hari untuk mencapai tingkat kesembuhan (KeMenKes, 2006), namun hal ini tidak sesuai dikarenakan sebagian besar kondisi klinis pasien sudah mulai membaik, biasanya pada keadaan ini dokter sudah menyatakan sembuh dan pasien diperbolehkan pulang (Fitrianggraeni, 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2016), sembuh adalah suatu kondisi dimana pasien dinyatakan telah bebas dari penyakit yang diderita, sedangkan membaik adalah suatu kondisi dimana seseorang telah mencapai suatu keadaan yang lebih baik dari penyakit yang diderita.

 

2.     Karakteristik Antibiotika

Karakteristik dan penggunaan antibiotika dan pengadaannya di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.

 

 

 

Tabel 5. Karakteristik Antibiotika

No

Hasil

Jumlah

Persentase

1

Jenis Antibiotik

 

 

Tunggal

48

100%

 

Kombinasi

0

0%

2

Penggolongan Antibiotik

 

 

Kloramfenikol

0

0

Sulfametoksazol

0

0

Penisilin

0

0

Cephalosporin

48

100%

Kuinolon

0

0%

3

Antibiotik

 

 

Inj. Ceftriaxone

41

85%

Inj. Cefotaxime

5

10%

 

Inj. Ceftazidime

2

5%

4

Lama Penggunaan Antibiotik

 

 

3-5 hari

40

83%

 

>5 hari

8

17%

 

Berdasarkan Tabel 5 jenis antibiotika yang digunakan yaitu jenis tunggal  berjumlah 100% dengan penggolongan jenis antibiotika yang paling sering digunakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga yang berjumlah 100% yaitu Ceftriaxone sebesar 85%, Cefotaxime sebesar 10% dan Ceftazidime sebesar 5% dengan rute pemberian masing-masing dalam bentuk injeksi atau dengan rute pemberian intravena karena merupakan efek pemberian obat yang lebih cepat dibandingkan dengan rute pemberian oral. Hal ini disebabkan karena pertimbangan manfaat dan risiko dari pemberian obat pada setiap pasien yaitu keadaan dan kondisi pasien.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga menjadi pengobatan utama pada demam tifoid anak di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 2017-2018. Pengobatan tidak menggunakan antibiotika drug of choice yaitu golongan kloramfenikol dan penisilin tetapi langsung diberikan dengan golongan sefalosporin karena diduga lebih cepat untuk menurunkan suhu tubuh, lama pemberian yang pendek dan dapat diberikan dengan dosis tunggal.

Ceftriaxone merupakan antibiotika yang paling sering digunakan dalam pengobatan rawat inap dan biasanya diberikan pada pasien anak-anak. Ceftriaxone juga merupakan salah satu antibiotika alternatif yang menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak (Musnelina dkk, 2004).

Pemberian antibiotika oral digunakan sebagai terapi lanjutan yang dilakukan pada pasien anak penderita demam tifoid dengan pertimbangan kondisi klinis pasien membaik (KeMenKes, 2011). Hal ini sesuai dengan Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, bila terdapat klinis perbaikan, antibiotika intravena dapat diganti dengan preparat oral dengan antibiotika golongan yang sama dengan antibiotika intravena sebelumnya (IDAI, 2009). Pada penelitian ini tidak dilampirkan obat pulang dari tiap pasien, namun ada beberapa pasien yang mendapatkan terapi antibiotika oral untuk dilanjutkan menjadi obat pulang saat pasien diizinkan pulang oleh dokter dari rumah sakit seperti cefixime dan cefadroxil. Terapi antibiotika cefixime oral merupakan terapi lanjutan dikarenakan cefixime merupakan antibiotika yang berada pada golongan antibiotika yang sama dengan cefotaxime dan ceftriaxone, yaitu golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas yang sama terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). Terapi antibiotika sefadroksil oral juga menjadi pilihan terapi lanjutan dikarenakan sefadroksil merupakan golongan antibiotika sefalosporin generasi pertama yang efektif terhadap bakteri Gram positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap bakteri Gram negatif dan hanya diberikan secara oral pemberiannya sehingga dapat digunakan sebagai terapi obat pulang.

Lama penggunaan antibiotika diperlukan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi akibat perkembangbiakan Salmonella typhi yang telah menginfeksi tubuh pasien (Sidabutar dan Satari, 2010). Menurut KeMenKes, penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan diagnosis awal yang telah dikonfirmasi yang kemudian dilakukan evaluasi berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan kondisi klinis pasien. Penggunaan antibiotika pada saat pasien dirawat paling banyak yaitu 3-5 hari dengan 83% dan >5 hari sebanyak 17%.


 

3.     Kondisi Klinis dan Hasil Laboratorium


Tabel 6. Kondisi Klinis dan Hasil Laboratorium

No

Hasil

Pre

Post

 

Jumlah

Persentase

Jumlah

Persentase

1

Tes Widal

 

(+)

48

100%

 

 

 

 

(-)

0

0%

 

 

 

2

Leukosit

 

 

 

 

 

5,000-10,000

23

48%

16

70%

 

7

30%

 

<5,000 atau > 10,000

25

52%

16

64%

 

 

9

36%

 

3

Suhu

 

 

 

 

 

36-37°C

4

8%

45

94%

 

 

> 37°C

44

92%

3

6%

 


A.    Berdasarkan Tes Widal

Tes Widal adalah salah satu pengujian untuk mendiagnosa demam tifoid yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi. Meskipun diketahui bahwa tes Widal memiliki banyak kelemahan, tetapi sampai saat in tes Widal merupakan uji serologis yang paling banyak digunakan untuk menunjang diagnosis demam tifoid (Puspa, 2005).

Menurut penelitian sebelumnya, tes Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tergolong sedang yaitu pada kasus demam tifoid dengan hasil biakan positif (Kalma, 2011). Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kesembuhan sudah dialami oleh pasien walaupun tes Widal masih menunjukkan hasil (+) positif tetapi kondisi klinis menunjukkan kesembuhan pada pasien tersebut, hal ini didukung oleh pernyataan literatur yang mengatakan bahwa pada tes Widal pemberian antibiotika mampu mengahambat kenaikan titer tes Widal (Handojo, 2004).

Persentase pasien yang keadaannya belum atau tidak normal sebelum pemberian antibiotika berdasarkan tes Widal adalah sebanyak 100%, artinya bahwa semua hasil positif tes Widal memperkuat dengan terinfeksi Salmonella typhi pada penderita (Fatmawati, 2011). Pada penelitian ini masih terdapat beberapa pasien yang kadar leukositnya tidak dalam rentang normal pada saat keluar dari rumah sakit serta masih adanya pasien yang tidak dilakukan tes Widal pada saat keluar dari rumah sakit. Meskipun tes Widal hanya dilakukan di awal hari perawatan saja, namun pasien tetap mengalami pengobatan rawat jalan di rumah dengan membawa obat yang telah diresepkan oleh dokter untuk menuntaskan kesembuhan pasien tersebut.

B.    Berdasarkan Kadar Leukosit

Pemeriksaan jumlah leukosit pada penyakit demam tifoid digunakan sebagai diagnosa pembanding karena gejala yang terjadi pada kasus demam tifoid hampir sama dengan kasus infeksi lain. Rentang nilai normal leukosit di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor adalah 5.000–10.000/µL. Persentase pasien dengan kadar leukosit tidak atau belum normal sebelum pemberian antibiotika yaitu 52%, artinya hampir semua pasien memiliki kadar leukosit tidak normal.

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa jumlah leukosit tidak mempunyai nilai spesifitas, sensitifitas dan dugaan yang cukup tinggi untuk digunakan dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya jumlah leukosit yang tidak dalam rentang normal relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Juwono, 2004).

Persentase pasien dengan kadar leukosit normal setelah perawatan yaitu 64%, artinya hanya sebagian pasien dengan kadar leukosit normal. Sementara 36% memiliki kadar leukosit tidak normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotika terhadap pasien berdasarkan kadar leukosit 64% efektif dalam menghentikan dan memusnahkan penyebaran bakteri Salmonella typhi dalam tubuh pasien. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemberian antibiotika 90% efektif dalam menormalkan kadar leukosit akibat penyebaran bakteri Salmonella typhi dalam tubuh pasien (Wahyuno, 2014).

 

C.    Berdasarkan Suhu Tubuh

Suhu tubuh menjadi salah satu tanda vital pasien untuk mengetahui gejala demam yang ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi. Umumnya gejala ini terjadi karena infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi (Nurjannah et al., 2011). Pada penelitian ini, persentase pasien yang suhunya tidak normal sebelum pemberian antibiotika yaitu 92%, artinya hampir semua pasien mengalami demam akibat bakteri Salmonella typhi, sementara 8% pasien memiliki suhu normal. Sedangkan persentase pasien dengan suhu tubuh yang normal setelah pemberian antibiotika adalah 94%, sementara tidak normal adalah sebanyak 6%. Hal ini menandakan bahwa pemberian antibiotika berdasarkan suhu tubuh 94% efektif menurunkan suhu tubuh pasien, meskipun masih terdapat 6% pasien yang memiliki suhu tubuh belum normal. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemberian antibiotika 95% efektif dalam menurunkan suhu tubuh akibat penyebaran bakteri Salmonella typhi dalam tubuh pasien (Wahyono, 2014).

4.     Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosis Penyakit Penyerta

Tabel 7. Hasil Diagnosis Penyakit Demam Tifoid

No

Keterangan

Jumlah

Persentase

1

Tanpa Penyakit Penyerta

25

52%

2

Dengan Penyakit Penyerta

23

48%

 

Pada hasil diagnosa yang telah ditetapkan, dapat diketahui ada dan tidaknya penyakit penyerta pada pasien anak penderita demam tifoid. Hasil pada Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 48 pasien, diagnosis penyakit demam tifoid yang dirawat inap paling banyak adalah demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebesar 52%.

Distribusi penyakit penyerta pada pasien anak penderita demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Penyakit Penyerta Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid

No

Penyakit Penyerta

Jumlah

Persentase

1

Anemia

1     

2%

2

Appenditis

1

2%

3

Bronkitis

1

2%

4

Bronkopneumonia

2

4%

5

DBD

8

17%

6

Diare

1

2%

7

Dispepsi

3

6%

8

Febris

1

2%

9

GE

2

4%

10

ISK

1

2%

11

ISPA

2

4%

12

Low Intake

2

4%

13

Trombositopenia

1

2%

 

Dari hasil Tabel 8, diketahui distribusi penyakit penyerta dari pasien anak penderita demam tifoid yang banyak diderita adalah Demam Berdarah Dengue (DBD) sebesar 17%, kemudian diikuti oleh Dispepsia sebesar 6%, Bronkopneumonia, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Low Intake masing-masing sebesar 4% dan Anemia, Appenditis, Bronkitis, Diare, Febris, Gastroenteritis (GE), Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan Trombositopenia masing-masing sebanyak 2%.

 

5.     Efektivitas Penggunaan Antibiotika

Efektivitas penggunaan antibiotika adalah terapi antibiotika yang efektif atau dapat mengurangi gejala dan tanda penyakit, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9 berikut:


 

Tabel 9. Efektivitas Penggunaan Antibiotika

No

Antibiotik

Keefektifan

Leukosit

Suhu

Jumlah

Persentase

Jumlah

Presentase

1

Inj. Ceftriaxone

1. Efektif

29

61%

39

82%

 

 

2. Tidak Efektif

12

25%

2

4%

2

Inj. Cefotaxime

1. Efektif

1

2%

4

8%

 

 

2. Tidak Efektif

4

8%

1

2%

3

Inj. Ceftazidime

1. Efektif

2

4%

2

4%

 

 

2. Tidak Efektif

0

0%

0

0%

Total

48

100%

48

100%


 

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika yang efektif dalam menormalkan jumlah leukosit pada pasien anak penderita demam tifoid adalah ceftriaxone (61%), ceftazidime (4%) dan

 

cefotaxime (2%). Sedangkan hasil penilaian penggunaan antibiotika yang efektif dalam menormalkan suhu tubuh pada pasien anak penderita demam tifoid adalah ceftriaxone (82%), cefotaxime (8%) dan ceftazidime (4%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh penggunaan antibiotika oleh pasien anak penderita demam tifoid di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor efektif.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika yang tidak efektif dalam menormalkan jumlah leukosit pada pasien anak penderita demam tifoid adalah ceftriaxone (25%) dan cefotaxime (8%). Sedangkan hasil penilaian penggunaan antibiotika yang tidak efektif dalam menormalkan suhu tubuh pada pasien adalah ceftriaxone (4%) dan cefotaxime (2%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketidakefektifan penggunaan antibiotika oleh pasien anak penderita demam tifoid disebabkan karena adanya penggunaan obat lain yang digunakan pasien dengan penyakit penyerta.

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan hasil penelitian, dari 48 pasien anak penderita demam tifoid yang dirawat di ruang rawat inap RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 2017-2018 dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.     Gambaran umum karakteristik pasien (usia, jenis kelamin dan lama perawatan) anak penderita demam tifoid lebih banyak ditemukan jenis kelamin laki-laki (54%) dengan usia 6-14 tahun (67%) dan lama perawatan 3-5 hari (79%).

2.     Gambaran umum karakteristik antibiotik (jenis, penggolongan, kelompok dan lama penggunaan antibiotik) yang paling banyak digunakan adalah jenis tunggal (100%) dengan golongan cephalosporin generasi ketiga (100%) yaitu ceftriaxone (85%) dan lama penggunaan 3-5 hari (83%).

3.     Penilaian efektivitas penggunaan antibiotika berdasarkan kondisi klinis (suhu tubuh) sebesar 94% dan hasil pemeriksaan laboratorium (jumlah leukosit) sebesar 64% dengan penggunaan antibiotik yang paling efektif dalam menormalkan jumlah leukosit dan suhu tubuh adalah ceftriaxone dengan masing-masing kefektifan sebesar 61% dan 82%.

 

SARAN

 

1.     Perlu ditingkatkan dalam pengisian atau kelengkapan lembar rekam medik pasien, khususnya pada pemeriksaan hasil laboratorium pada tes Widal sehingga memudahkan pendataan dan pembacaan rekam medik.

2.     Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode prospektif sehingga dapat dilihat penggunaan terapi antibiotika dan kondisi klinis pasien secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA

 

Adisasmito, A. W. 2006. Penggunaan Antibiotik pada Terapi Demam Tifoid Anak di RSAB Harapan Kita. Jakarta: Sari Pediatri, Vol. 8, No.3, Desember 2006. 174-180

 

DepKes RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan No. 2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika. Jakarta: Depkes RI.

 

________. 2013. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyak  it Demam Tifoid. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan.

 

Fatmawati, R., Nahwa, A., Hardian. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan Dengan Kultur Darah Sebagai Baku Emas Untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Universitas Diponogoro Semarang Press

 

Fitrianggraini, A., Hakim, A. R., Sujono, T. A. 2012. Evaluasi Pola Penggunan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS “X” Tahun 2010-2011. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Handojo, I. 2004. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya: Airlangga University Press.

 

IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

 

Juwono. 2004. Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online]. Available at: http://kbbi.web.id/pusat. Diakses 21 Juni 2016.

 

Kementrian Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Kemenkes RI.

 

________. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik. Jakarta: Kemenkes RI.

 

Musnelina, L., Afdhal, A, F., Gani, A., Andayani, P. 2004. Pola Pemberian Antibiotik Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 2001-2002. Jakarta: Makara Kesehatan, Vol. 8, No. 1: 27-31.

 

Nafiah, F. 2018. Kenali Demam Tifoid dan Mekanismenya. Yogyakarta: Budi Utama

 

Nurjanah, S., Fathia, S. 2011. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Kering Beku Terhadap Beberapa Bakteri Patogen. Bogor: IPB Press

 

Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Bengkulu: Nuha Medika.

 

Patmawati, S. Y. 2010. Efektifitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Anak Rawat Inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Puspa, W. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Jounal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37.

RisKesDas. 2007. Riset Kesehatan Dasar_Laporan Kesehatan 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

 

Roespandi, H., dan Nurhamzah, W. 2007. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.

 

Sidabutar, S., Satari, H, I. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid Pada Anak: Kloramfenikol Atau Seftriakson. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri 2010;11 (6): 434-9.

 

Tjay, T. H., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Ke VI. Cetakan I, Hal. 263, 270. Jakarta: Gramedia.

 

Wahyono, D., Fita, R., 2014. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pediatri Rawat Inap. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

 

World Health Organization. 2015. Typhoid Fever. Terdapat Di: Http://Www.Who.Int/Topics/Typhoid_Fever/En/ [Diakses 9 Juni 2016].


Baban's Words Part 2

FGVV?ds000,,,,,,,,,,,,,,M9320W-NHJ